Makalah Inkar Sunnah

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
            Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber utama ajaran Islam. Islam berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang benar untuk kebahagiaan manusia di dunia dan  akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’  “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan  memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal  saleh  bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Isra`:9)
               Petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an banyak yang bersifat umum dan global sehingga memerlukan penjelasan dan penafsiran. Tugas untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan cara-cara pelaksanaannya dibebankan oleh Allah kepada Rasulullah melalui hadits-hadits atau sunnahnya. Oleh sebab itu, pantaslah Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa “tidak akan ada sunnah tanpa al-Qur’an, sebab al-Qur’an tidak akan dapat dioperasionalkan tanpa memperhatikan penjelasan sunnah”.
               Atas dasar hal tersebut maka sunnah menempati posisi strategis sebagai sumber hukum ajaran Islam yang kedua  setelah al-Qur’an yang wajib dijadikan pegangan dan diamalkan oleh umat Islam.
               Disadari bahwa terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara hadits dan al-Qur’an baik dari segi redaksi dan cara penyampaiannya atau penerimaannya. Dari segi redaksi diyakini bahwa al-Qur’an disusun langsung oleh Allah dan disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad kemudian disampaikan Nabi kepada umatnya dan selanjutnya dari generasi ke generasi. Sehingga redaksi ayat-ayat al-Qur`an dapat dipastikan tidak ada perubahan karena sejak diterima oleh Rasul, al-Qur`an ditulis dan dihafal para sahabat kemudian disampaikan secara mutawatir. Dengan demikian kehujjahan al-Quran menjadi qath’iy al-wurud. Sedangkan hadits kehujjahannya zhanny al-wurud, hal ini disebabkan hadits tidak semuanya persis sama dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi kecuali hadits mutawatir tetapi ada yang periwayatannya secara maknawi.
               Meskipun dari segi otensitasnya hadits bersifat zhanny al-wurud kecuali hadits mutawatir tidak berarti harus diragukan karena banyak faktor yang mendukung keabsahannya dan tidak mungkin para ulama sepakat untuk berdusta.
               Dalam perkembangan sejarah Islam, sunnah sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an mendapat tantangan, ada yang memalsukan dan ada pula yang menolak otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam baik secara total, sebahagian maupun sebahagian kecil. Kelompok yang mengingkari sunnah ini disebut dengan inkar al- sunnah.

B.  Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian dari inkar al-Sunnah?
2.        Bagaimana sejarah awal kemunculan dan perkembangan inkar al-Sunnah?
3.        Bagaimana klasifikasi inkar al-Sunnah dan argumennya?
4.        Bagaimana inkar al-Sunnah di Indonesia?
5.        Bagaimana kritik ahli terhadap pengingkar Sunnah?
6.        Apa contohnya dari mengingkari al-Sunnah?

C.  Tujuan
1.        Mengetahui pengertian inkar al-Sunnah
2.        Mengetahui sejarah awal kemunculan dan perkembangan inkar al-Sunnah
3.        Mengetahui klasifikasi inkar al-Sunnah dan argumennya
4.        Mengetahui inkar al-Sunnah di Indonesia
5.        Mengetahui kritik ahli terhadap pengingkar Sunnah
6.        Mengetahui contoh inkar al-Sunnah

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Inkar Sunnah
            Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata arab اَنْكَرَ يُنْكرُ انْكَرَ   yang mempunyai beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati.[1]
            Menerut pendapat lain, Secara bahasa inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan sunnah. Menurut bahasa inkar berasal dari bahasa Arab yang berarti “menyangkal, tidak membenarkan atau tidak mengakui dan orangnya disebut dengan mungkir”. Menurut Ragif al Isfahani, inkar berarti “penolakan hati terhadap hal-hal yang tidak tergambar olehnya, baik berupa  penolakan  dengan  lidah  sebagai ungkapan  hati ( kebodohan ), maupun penolakan dengan lidah sedangkan hati mengakui.”
            Berarti orang yang melakukan inkar sunnah ia tidak mengakui, dan menolak Sunnah rosul, baik sebagian maupun seluruhnya. Orang yang mengingkari sunnah rosul walaupun hanya sebagiannya saja itu tetep dikatakan mengingkari Sunnah.
            Sedangkan Sunnah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya adalah, “jalan yang dijalani, terpuji atau tidak,” suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamai sunnah, meskipun tidak baik. Secara bahasa pengertian hadits dan sunnah sendiri terjadi perbedaan dikalangan para ulama, ada yang menyamakan keduanya dan ada yang membedakan. Pengertian keduanya akan disamakan seperti pendapat para muhaditsin, yaitu suatu perkataan, perbuatan, takrir dan sifat Rauslullah saw. Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang ke-2 setelah Al-Qur'an 
            Sedangkan pengertian istilah inkar al-sunnah secara terminology antara lain disebut dalam Ensiklopedi Islam yaitu  “orang-orang yang menolak sunnah atau hadits Rasulullah SAW sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan.”
            Menurut Harun Nasution, inkar al-sunnah adalah paham yang menolak sunnah atau hadits sebagai ajaran Islam di samping al-Qur`an. Pendapat lain, dikemukakan oleh Edi Safri bahwa inkar al-sunnah adalah kelompok-kelompok tertentu yang menolak otoritasnya (sunnah) sebagai hujjah atau sumber ajaran agama yang wajib ditaati dan diamalkan”.
            Menurut Mustafa al- Siba`i yang dimaksud inkar al-sunnah ialah  pengingkaran karena adanya keraguan tentang metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan bahwa para perawi melakukan kesalahan atau kelalaian atau muncul dari kalangan para pemalsu dan pembohong.
            Sementara itu Lukmanul Hakim  mendefenisikan bahwa ingkar al-sunnah adalah gerakan dari kelompok- kelompok umat Islam sendiri yang menolak otoritas sunnah sebagai hukum atau sumber ajaran agama Islam yang wajib dipedomani dan diamalkan.[2]
            Berdasarkan defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa inkar al-sunnah adalah aliran, golongan dan paham yang menolak eksistensi sunnah sebagai sumber hukum Islam  atau hujjah yang wajib ditaati dan diamalkan umat Islam.  Maksudnya keraguan  yang lahir menjadi penolakan terhadap keberadaan sunnah atau hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al- Qur`an.

B.  Sejarah  dan Perkembangan Inkar  al-Sunnah
            Setelah Rasulullah wafat, terjadi kesepakatan dikalangan umat Islam untuk menempatkan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Kesepakatan tersebut dapat bertahan dan terpelihara dengan baik sampai pada masa Khalifah al-Rasyidin dan Bani Umayah (41 H/661M – 133 H/750 M). Hal ini dapat dimaklumi karena di samping masa hidup sahabat masih terbilang dekat dengan masa hidup Nabi, keimanan mereka terhadap Nabi juga masih tinggi, sehingga tidak mungkin mengingkari sunnah Nabi. Setiap kali mereka mendapat kalimat dari Nabi maka kalimat tersebut lansung menjadi pegangan dan menjelma dalam perilaku mereka.
            Sejarah perkembangan faham ingkar sunnah hanya terjadi dalam dua periode, yaitu periode klasik dan periode modern. Menurut Prof. M. Mushthofa Al-Azhami sejarah ingkar sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy- Syafi’I (abad 2H/7M). kemudian menghilang dari peredarannya selama beberapa abad. Kemudian pada abad modern (abad 13H/19M) kembali muncul di India dan Mesir sampai pada masa sekarang.[3]
            Imam Syafi’i banyak berhadapan dengan para pengingkar sunnah dan termasuk orang yang paling berjasa dalam membela hadits dari gerakan-gerakan kaum yang berkeinginan untuk menghilangkan hadits dari aturan-aturan hukum Islam. Mereka semua menolak keberadaan hadits dan sunnah dari Nabi untuk dijadikan sumber hukum Islam.
            Ini sebabnya mengapa kemudian oleh ahli sejarah Islam menamakan mereka sebagai inkar al-sunnah, tidak dengan nama ingkar hadits. Mereka tidak mengingkari adanya hadits sebagai perkataan, perbuatan dan ketetapan yang bersumber dari Nabi saw. Mereka hanya mengingkari kopetensinya dalam hukum Islam. Hal itu disebabkan dari dulu  mereka sudah meragukan metodologi kodifikasi yang tidak menjamin kebenaran hadits yang beredar di kalangan umat Islam sampai saat ini benar dari Nabi.

a.         Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
   Ingkar sunnah klasik terjadi pada masa Imam Asy- Syafi’I (wafat 204 H). Dalam kitabnya Al-Umm Imam Syafi’i menguraikan perdebatan beliau dengan seseorang pengingkar sunnah. Menurut Muhammad Al-Khudhari Beik, bahwa seseorang yang berdebat denga Imam Asy-Syafi’I tersebut dari kelompok Mu’tazilah karena dinyatakan bahwa orang tersebut berasal dari bashrah, sementara bashrah pada saat itu merupakan pusat teologi mu’tazilah.
   Inkar sunnah pada masa klasik ini diawali akibat konflik internal umat islam yang dikobarkan oleh sebagian kaum sindiq yang berkedok pada sekte-sekte tertentu dalam islam, kemudian diikuti oleh para pendukungnya dengan mencacimaki para sahabat. Secara umum dapat dikatakan semua umat islam mengakui kehujahan sunnah sebagai dasar hukum, hanya saja terdapat perbedaan dalam memberikan kriteria persyaratan kualitas sunnah tersebut.
Berikut pandangan beberapa sekte dalam Islam terhadap sunnah Rasul.
a.         Khawarij
            Secara umum, khawarij dan berbagai sempalannya berpendapat bahwa semua sahabat yang terlibat dalam fitnah perang jamal dan gencatan senjata (tahkim) serta yang ridho akan hal tersebut dinilai kafir. Sehingga mereka menolak seluruh sunnah yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat setelah dua peristiwa tersebut. Mereka hanya menerima sunnah yang diriwayatkan  dari beberapa sahabat yang tidak terlibat dalam dua peristiwa tersebut.
b.        Syi’ah
            Kelompok syiah menerima sunnah dan mengamalkannya seperti ahlussunnah, hanya mereka berbeda dalam menerima dan menetapkan kriterianya. Mereka berpendapat bahwa mayoritas sahabat setelah rosulullah wafat adalah murtad kecuali beberapa orang saja. Sehingga mereka tidak mau menerima sunnah yang diriwayatkan dari mayoritas sahabat tersebut, kecuali dari kalangan ahlul bait (keluarga Nabi Saw). Mereka mensyaratkan penuturan sebuahhadits harus dari jalur para imam, karena menurut mereka hanya imam merekalah  yang bersifat Ma’sum (terpelihara dari dosa).
c.          Mu’tazilah
            Menurut kesimpulan al-siba’iy, bahwa sikap mu’tazilah tidak menentu apakah menolak sunnah atau menerima seluruhnya atau menolak sunnah ahad saja. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa mu’tazilah dengan ushul khamsah-nya (falsafah madzhab mu’tazilah) dan konsep-konsep yang bermuara daripadanya merupakan kaidah yang dipatuhi oleh teks al-qur’an dan sunnah. Ayat yang kontradiksi denga logika ditakwilkan dan sunnah yang kontradiktif dengan rasio ditolak. Harun nasution mengungkapkan bahwa kaum mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan tidak percaya pada sunnah atau tradisi nabi dan para sahabat akan tetapi mereka ragu akan keorisinalan hadits yang mengandung sunnah tersebut.[4]
            Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa mu’tazilah pada perinsipnya menerima kehujjahan sunnah. Namun mereka mengkritik sejumlah sunnah yang kontra dengan falsafah madzhab mereka. 

b.        Ingkar As-Sunnah Modern
   Apabila ingkar as-sunnah klasik muncul di Basrah, akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan hadist, ingkar as-sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat adanya pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia islam. Antara lain tokoh-tokoh ingkar as-sunnah modern, yaitu :
1. Taufiq Shidqi ( w. 1920 m)
            Tokoh ini berasal dari Mesir, dia menolak Hadits Nabi saw, dan menyatakan bahwa al-Qur'an adalah satu-satunya sumber ajaran Islam. Menurutnya "al-Islam huwa al-Qur'an" (Islam itu adalah al-Qur'an itu sendiri). Dia juga menyatakan bahwa tidak ada satu pun Hadits Nabi saw yang dicatat pada masa beliau masih hidup, dan baru di catat jauh hari setelah Nabi wafat. Karena itu menurutnya, memberikan peluang yang lebar kepada manusia untuk merusak dan mengada-ngadakan Hadits sebagaimana yang sempat terjadi (Irsyadunnas, 94). Namun ketika memasuki dunia senja, tokoh ini meninggalkan pandangannya dan kembali menerima otoritas kehujjahan Hadits Nabi saw.
2. Rasyad Khalifa
            Dia adalah seorang tokoh Ingkar Sunnah yang berasal dari Mesir kemudian menetap di Amerika. Dia hanya mengakui al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam yang berakibat pada penolakannya terhadap Hadits Nabi saw.
3. Ghulam Ahmad Parwes
            Tokoh ini berasal dari India, dan juga pengikut setia Taupiq Shidqi. Pendapatnya yang terkenal adalah: bahwa bagaimana pelaksanaan shalat terserah kepada para pemimpin Umat untuk menentukannya secara musyawarah, sesuai dengan tuntunan dan situasi masyarakat. Jadi menurut kelompok ini tidak perlu ada Hadits Nabi saw. Anjuran taat kepada Rasul mereka pahami sebagai taat kepada sistem/ide yang telah dipraktekkan oleh Nabi saw, bukan kepada Sunnah secara harfiah. Sebab kata mereka, Sunnah itu tidak kekal, yang kekal itu sistem yang terkandung di dalam ajaran Islam.
4. Kasim Ahmad
            Tokoh ini berasal dari Malaysia, dan seorang pengagum Rasyad Khalifa, karena itu pandangan-pandangnnya pun tentang Hadits Nabi saw sejalan dengan tokoh yang dia kagumi. Lewat bukunya, "Hadits Sebagai Suatu Penilaian Semua", Kasim Ahmad menyeru Umat Islam agar meninggalkan Hadits Nabi saw, karena menurut penilaianya Hadits Nabi saw tersebut adalah ajaran-ajaran palsu yang dikaitkan dengan Hadits Nabi saw. Lebih lanjut dia mengatakan "bahwa Hadits Nabi saw merupakan sumber utama penyebab terjadinya perpecahan Umat Islam; kitab-kitab Hadits yag terkenal seperti kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab yang menghimpun Hadits-Hadits yang berkualitas dhaif dan maudhu', dan juga Hadits yang termuat dalam kitab-kitab tersebut banyak bertentangan dengan al-Qur'an dan logika.[5]

D.  Klasifikasi Inkar al-Sunnah dan Argumennya
A. Menolak sunnah secara umum
            Yaitu kelompok yang menolak hadits hadits Rasulullah SAW sebagai hujjah dalam ajaran Islam secara keseluruhan, baik hadits mutawatir maupun hadits ahad, menurut mereka hanya al- Qur`an satu- satunya sebagai sumber ajaran Islam. Argumentasinya adalah:
1.    Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, maka al-Qur’an dapat dipahami dengan baik, tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari hadis-hadis Nabi saw. Sebagaimana dalam surat Firman Allah al- `Asyu`ra:                                                                                  
            [24]    بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
     ”Al- Qur`an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS: Asyura:195)
2.    Al-Qur’an sebagaimana disebutkan Allah SWT adalah penjelas segala sesuatu (QS. al-Nahl (16): 89). Hal ini mengandung arti bahwa penjelasan al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang diperlukan oleh umat manusia. Dengan demikian maka tidak perlu lagi penjelasan lain selain al-Qur’an. Sesuai surat an-Nahl  dan surat al-An’am:
“  …dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.16:89)
[26]   ...  مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
“ …Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah  mereka dihimpunkan.” (QS:6:38)
3.    Hadis-hadis Nabi saw. sampai kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak terjamin luput dari kekeliruan, kesalahan dan bahkan kedustaan terhadap Nabi saw.. Oleh karena itu,  nilai kebenarannya tidak meyakinkan (zhanny). Karena status ke-zhanny-annya ini, maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai penjelas (mubayyin) bagi al-Qur’an yang diyakini kebenarannya secara mutlak (qat’i). Argumen yang mereka ajukan adalah firman Allah dalam surat al-Hijr :
[28]           إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَوَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguh Kami benar-benar memelirakannya.” (QS. 15:9)
4.    Berdasarkan atas riwayat dari Nabi saw. yang artinya: “apa-apa yang sampai kepadamu dari Saya, maka cocokkanlah dengan al-Qur’an. Jika sesuai dengan al-Qur’an maka Aku telah mengatakannya, dan jika berbeda dengan al-Qur’an maka Aku tidak mengatakannya. Bagaimanakah Aku dapat berbeda dengan al-Qur’an sedangkan dengannya Allah memberi petunjuk kepadaku”.
    Riwayat tersebut dalam pandangan mereka berisi tuntutan untuk berpegang kepada al-Qur’an, tidak kepada hadis Nabi saw.. Dengan demikian menurut riwayat tersebut, hadis tidaklah berstatus sebagai sumber ajaran Islam.
B.  Menolak Sunnah yang Tidak Terdapat Prinsipnya dalam al- Qur`an
            Yaitu mereka yang tidak mengakui otoritas hadits- hadits untuk menentukan hukum baru selain yang ditentukan oleh al- Qur`an. Kelompok yang menolak hadis Nabi saw. menurut al-Syafi’i, pada dasarnya adalah sama kelirunya dengan inkar al-sunnah kelompok pertama, yang menolak hadis Nabi SAW secara keseluruhan.  Argumnetasi yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini sama seperti yang dikemukakan oleh kelompok pertama, yaitu bahwa al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam.  Ini berarti bahwa menurut mereka hadis Nabi saw. tidak punya otoritas untuk menentukan hukum di luar ketentuan yang termaktub dalam al-Qur’an. Karenanya, dalam menghadapi suatu masalah, meskipun ada hadis yang membicarakannya atau mengaturnya, mereka tetap tidak akan berpegang pada hadis tersebut jika tidak didukung oleh ayat al-Qur’an.
C.     Menolak Hadits Ahad dan Menerima Hadits Mutawatir
          Hadits ahad adalah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang rawi kepada satu atau dua orang rawi lainnya, yang adil dan tepercaya dan demikian selanjutnya. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang berasal dari Nabi yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi kepada sejumlah rawi yang adil dan tepercaya dan demikian seterusnya.[29]
          Mereka hanya menerima hadits- hadits yang mutawatir sebagai hujjah dan menolak hadits- hadits ahad, walaupun hadits- hadits tersebut memenuhi persyaratan sebagai hadits shahih. Sebagai argumennya mereka merujuk kepada Firman Allah al- Isra` :
[30]    ... وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
 ” Janganlah kamu mengikuti apa- apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan    tentangnya”.(QS: al- Isra`:36)
Surat al- Nisa` :
[31]   ....    وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ
”  Janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar” (QS:an-Nisa`:71)

C.  Inkar al-Sunnah Indonesia
            Pemikiran modern ingkar sunnah muncul di Indonesia secara terang-terangan sekitar tahun 1980-an. Kemungkinan besarnya jauh sebelum itu telah ada penyebaran secara sembunyi-sembunyi. Pemikiran inkar sunnah bergerak di beberapa tempat dan pada 1983-1985 mencapai puncaknya sehingga menghebohkan masyarakat Islam dan memenuhi halaman surat kabar. Adapun penyebaran kelompok inkar sunnah di Indonesia meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Tegal, dan Padang.[6]
            Tokoh-tokoh “Ingkar Sunnah” yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia), Ir. Ircham Sutarto, Abdurrahman, Dalimi Lubis (karyawan kantor DePag Padang Panjang), Nazwar Syamsu, As’ad bin Ali Baisa, H. Endi Suradi. Para penginggkar sunnah di Indonesia secara keseluruhan menolak sunnah sebagai sumber hukum dan mereka dari kalangan bukan orang yang ahli agama dan masih dalam tahap belajar kemudian mengklaim dirinya ahli agama dan secara eksklusif merasa paling benar dan yang lain salah.

D.  Kritik Ahli Terhadap Pengingkar Sunnah
            Paham inkar al-sunnah merupakan kekesatan yang nyata dan menyesatkan umat. Tujuan  mereka adalah untuk meruntuhkan ajaran Islam. Oleh karena itu para ulama dengan gencar menolak argumentasi mereka tidak logis dan dibuat-buat. Beberapa argumentasi para ahli terhadap pengingkar sunnah:
            Menurut Imam Syafi’i, dengan menguasai bahasa Arab maka orang lebih mengetahui bahwa al-Qur’anlah yang memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah SAW. Mengikuti Rasulullah sama halnya dengan perintah mengikuti al-Qur’an. Untuk mendukung argument Imam Syafi’i, ia mengemukakan dalil al-Qur`an al-Jum`ah:  ”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seoran Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS.62:2)”
            Di samping ayat diatas juga dikemukakan surat al-Ahzab  : “ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan  Hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha Mengetahui.”
             Menurut Imam Syafi`i, kedua ayat di atas harus difahami dengan dua hal yang berbeda. Jika yang dimaksud dengan al- Kitab adalah al- Qur`an , maka al- Hikmah harus difahami sebagai ajaran- ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan ayat ke dua terkandung perintah Allah kepada dan  isteri- isteri Rasulullah agar mereka menyampaikan  dua hal yang diajarkan  Rasulullah  ketika berada di rumah mereka. Ke dua  hal tersebut adalah ayat- ayat Allah dalam al-Qur`an dan  al- Hikmah yakni Hadits Rasulullah.
            Berdasarkan pendapat imam Syafi`i tersebut, jelas bahwa Penginkar sunnah tidak pintar dalam memahami bahasa Arab , dan tidak dapat membedakan makna- makna yang terdapat dalam al- Qur`an. Nampaknya mereka menafsirkan ayat al- Qur`an hanya sesuai selera dan hawa nafsu semata. Alasan mereka bahwa al- Qur`an tidak membutuhkan sunnah atau hadits, karena al- Qur`an sudah memuat segala sesuatu secara terperinci tentang ajaran Islam. Pendapat mereka ini sangat bertentangan dengan pendapat imam Syafi`i. Dimana menurut imam Syafi`i  al- Qur`an hanya mengandung ajaran yang bersifat global, serta banyak ajaran al- Qur`an yang bersifat umum yang tata cara pelaksanaannya dibutuhkan penjelasan dari hadits – hadits Rasulullah untuk memahami petunjuk- petunjuk Allah.
            Menurut Argumen yang dikemukakan oleh paham inkar al- sunnah bahwa hadits- hadits nabi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena tidak terpelihara keautentikannya. Imam Syafi`i memberikan penolakan bahwa pandangan mereka keliru dan tidak tepat karena kata “Azzikru” dalam surat al- Hijjr ayat 9 mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi baik al- Qur`an maupun sunnah untuk menjelaskan al- Qur`an.
            Dari pendapat di atas jelas bahwa tidak diragukan lagi bahwa Allah  menjamin sunnah Rasulullah sebagaimana Allah menjamin kitabNya. Bukti sejarah juga menunjukkan dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya untuk mempelajari dan meneliti serta menghafal dan  menuliskan al- Qur`an dan sunnah.
            Anggapan para penginkar sunnah yang meragukan dan menolak autentitas penjelasan- penjelasan Nabi yang merupakan sunnah disebabkan karena menurut mereka bahwa hadits- hadits ditulis pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (99- 101 H), sehinggga keasliannya tidak terpelihara. Pendapat ini muncul karena mereka tidak dapat membedakan antara penulisan hadits yang secara resmi dan penulisan hadits di zaman Rasulullah atas prakarsa perorangan. Beberapa naskah yang ditemukan yang ditulis pada zaman Rasulullah adalah al- Shahifah al- Shahihah (Shahifah Humam) berisikan hadits- hadits Abu Hurairah yang ditulis langsung oleh muridnya Humam bin Munabbih. Al- Shahifah al- shadiqah yang ditulis langsung oleh sahabat Abdullah bin Amir bin Ash, Shahifah Sumarah Ibnu Jundub, Shahifah Jabir bin Abdullah  yang berisikan masalah ibadah, haji, dan khutbah Rasulullah.
            Memperhatikan penemuan- penemuan ilmiah terhadap naskah- naskah tersebut membuktikan bahwa hadits- hadits Rasulullah  telah ditulis atas prakarsa sahabat dan tabi`in jauh sebelum penulisan hadits secara resmi. Atas dasar penjelaan dari al- Qur`an dan bukti autentik lainnya maka tidaklah pantas diragukan kehujjahan sunnah sebagai sumber ajaran Islam yang ke dua setelah al- Qur`an. Pada dasarnya keraguan dan kekeliruan pengingkar sunnah terhadap kedudukan dan fungsi sunnah sebagai hujjah dalam Islam timbul akibat  dangkalnya pengetahuan mereka serta upaya untuk menghancurkan Islam. 

E.   Contoh Inkar al-Sunnah
            Pengikut inkar al-Sunnah hanya berpegang teguh pada Al-Quran dan mengabaikan Sunnah dalam kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa contoh yang diajarkan dalam inkar Sunnah yaitu:
a. Tentang Dua Kalimat Sahadat
Mereka tidak mengaku 2 kalimat syahadat karena tidak ada dalam Al-Qur’an.
b. Tentang Shalat Cara mereka mengerjakan shalat bermacam-macam, yaitu :
1. Ada yang mengerjakan shalat tiga kali sehari masing masing boleh empat rakaat atau dua rakaat. 
2. Ada yang shalatnya rata-rata dua rakaat, tetapi bacaannya berbeda-beda ada yang seperti biasa, bagian shalat yang tidak tertera dalam al-qur’an boleh dig anti.
3. Ada yang shalatnya sebanyak-banyaknya, selagi mampu dan tidak berlebihan
4. Shalat diwajibkan bagi yang faham al-qur’an.
c. Tentang Puasa Di Bulan Ramadhan.
Mereka hanya mengikuti wajibnya puasa saja. Adapun hari dan bulannya meraka mengingkari dengan alasan tidak ditentukan dalam al-Qur’an makanya mereka tidak mengakui puasa Ramadhan karena tidak ada keterangan ayat al-Qur’an.
d.  Tentang Zakat
Pada umumnya mareka tidak memunaikan zakat. Yang mereka akui adalah perintah member kepada fakir miskin.
e. Rukun islam
     Rukun islam yang 5 tidak berfungsi apa-apa, yang terpenting adalah pemahaman al-qur’an[7]


BAB III
PENUTUP


A.  Simpulan
            Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-quran, dimana kita diwajibkan mempercayai hadits sebagaimana kita mempercayai al-quran.  
            Lahirnya kelompok Ingkar Sunnah dilatar belakangi oleh beberapa sebab, diantaranya: Pemahaman mereka yang tidak terlalu baik dan mendalam tentang Hadits/Sunnah Nabi saw, kedangkalan mereka dalam memahami Islam, juga ajarannya secara keseluruhan, kepemilikan pengetahuan yang kurang tentang bahasa Arab, sejarah Islam (kodifikasi Hadits), sejarah periwayatan, pembinaan Hadits, metodologi penelitian Hadits, dan adanya statement al-Qur'an yang menyatakan bahwa al-Qur'an telah menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam
            Dampak dari penolakan ini bisa mengakibatkan Umat Islam akan kehilangan satu panduan hidup yang sangat berarti selain al-Qur'an; dan yang ekstrim bisa mengakibatkan seseorang kafir (keluar/dianggap keluar) dari agama Islam.

B. Saran
            Perlu ditekankan bahwa adanya Inkar Sunnah setidaknya mengharuskan dilakukannya suatu pembelajaran kembali yang lebih matang mengenai tafsir Qur’an yang benar dan adanya peninjauan kembali untuk menghadirkan analisa-analisa terhadap kebenaran-kebenaran penyampaian hadits/sunnah yang tidak menekankan keterbukaan pemikiran yang sebenarnya dapat membantu kehidupan. Sehingga hidup yang dilandaskan pada Al-Qur’an dapat benar-benar terrealisasikan tanpa adanya kekakuan pemikiran yang tidak terbuka terhadap pemahaman Al-Qur’an itu sendiri, sebab di dalam Al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang memerlukan penjelasan dari penerima wahyu itu sendiri.




Daftar Pustaka

Hakim, Lukmanul. 2004. Inkar Sunnah Priode Klasik. Jakarta: Hayfa Press
KhonAbdul Majid. 2011Pemikiran Modern Dalam Sunnah, Pendekatan Ilmu HaditsJakarta : Kencana
Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadits, Pengantar Studi Hadits Praktis. Malang :      UIN Malang Press
Solahudin, M.Agus Solahudin dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Pustaka     Setia


[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist,  (Jakarta; Bumi aksara, 2010),  hal. 2
[2] Lukmanul hakim, Inkar Sunnah Priode Klasik,  (Jakarta: Hayfa Press, 2004), Cet. Ke 1, hal. 57
[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, Pengantar Studi Hadits Praktis, (Malang : UIN Malang Press, 2008)

[4] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana, 2011)
[5] M.Agus Solahudin, Agus Suyadi.,Ulumul Hadits, (Pustaka Setia, 2009),.hal.219-221
[6] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana, 2011)

[7] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunnah, pendekatan Ilmu Hadits, (Jakarta : Kencana, 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PENGHIMPUNAN DAN PEMBUKUAN AL-QUR’AN

Makalah Tarikh Tasry : Sejarah Perkembangan Hukum Islam pada Masa Penjajahan