SEJARAH PENGHIMPUNAN DAN PEMBUKUAN AL-QUR’AN
Tulisan ini hanya sebagai referensi bukan untuk di copy-paste. Terimakasih........
A. Tema
A. Tema
Sejarah Penghimpunan
Al-Qur’an dari masa Nabi Muhammad hingga Utsman Bin Affan
B. Latar Belakang
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau
dibukukan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat
Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu
Mushaf. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara
yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit
binatang, batu yang tipis dan licin, pelepah kurma, tulang binatang dan
lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan
beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.
Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh
Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini.
Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh
Rasulullah maupun oleh para sahabat.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokumen tulisan dari
benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada
Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari banyaknya
sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah).
Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an,
lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak
langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa
diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung. Dengan
demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an yang
terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai
Anggota. Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12
Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga
23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18
tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal
dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang
hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci
Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
Sementara
pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an
seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt.
C. Pembahasan
Al-Qur'an petunjuk hidup yang
bersifat holistik, komprehensif, luas dan mendalam berfungsi mendasari dan
menuntun berbagai dimensi kehidupan manusia menuju keridhaan Allah SWT.
Kebenaran Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup bersifat mutlak dan dinamis, karena
isinya ada ayat-ayat Al-Qur'an yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat,
sesuai dengan QS. Ali 'Imran/3: 7 yang artinya, "Dialah yang menurunkan
al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara isinya ayat-ayat yang
muhkamat (
) dan ada yang lain
ayat-ayat yang mutasyabihat (
)".[1]


Al-Quran
adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan salah
satu yang sangat dibanggakan umat Islam dari dahulu hingga saat ini adalah
keontetikan Al-Quran yang merupakan warisan Islam terpenting dan paling
berharga.
Pengumpulan Al-Qur’an pada garis
besarnya dibagi dalam tiga bagian. Pertama, pada zaman Nabi Muhammad
SAW. Kedua pada zaman Abu Bakar Shiddiq dan ketiga, pada zaman
Usman bin Affan.
1.1
Pengumpulan
Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi
Rasulullah sangat menyukai wahyu, ia
senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan
memahaminya, persis seperti yang dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya (Al- Qiyamah [75]:17). Oleh sebab itu, ia
adalah hafidz Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat
dalam dalam menghapalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama
dam sumber risalah.
Qur’an
diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya
turun satu ayat dan terkadang sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat
turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara
kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat, itu karena mereka umumnya memang buta huruf.[2]
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah
sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim.
Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada
keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan
membentuk ketaqwaan manusia. Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an)
tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau
lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.[3]
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah
mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai
ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga
dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan
terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu pada
mulanya, Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat
yang kemudian juga menghafal bagian-bagian al-Qur’an yang diwahyukan kepada
Muhammad.
Jadi setelah menerima wahyu
Nabi sebagaimana diperintahkan al-Qur’an ( 5:67; 7:2; 15:94; dll ) – lalu
menyampaikannya kepada para pengikutnya, yang kemudian menghafalkannya.
Sejumlah hadits menjelaskan berbagai upaya Nabi dalam merangsang penghafalan
wahyu-wahyu yang telah diterimanya.[4]
Para sahabat berlomba-lomba menghafal
ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga
jumlah mereka yang hafal Al-Qur’an sangat banyak. Diantaranya, Abu Bakar,
‘Umar, ‘Usman, ‘Ali, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim Maula bin
Hudzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Amru ibnu ‘Ash, Abdullah bin
Amru, , Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Abdullah Ibnu Sa’id, Aisyah, Hafsah, Ummu
Salamah (dari Muhajirin), Ubay ibn Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu
Darda, Anas bin Malik, Abu Zaid dan lain-lain (dari kaum Anshar).
Nabi Muhammad SAW., Juga memerintahkan beberapa sahabatnya
yang pandai menulis,untuk menyalinnya (Qur’an) atau mengabadikan dalam media
yang pada waktu itu masih menggunakan bahan-bahan ”seadanya” seperti kulit
hewan, tulang, dan pelepah kurmah.[5]
Sebelum wafat, Nabi telah mencocokkan Al-Qur’an yang
diturunkan Allah kepada beliau dengan Qur’an yang dihafal para hafizh,
surat-demi surat, ayat demi ayat. Maka Al-Qur’an yang dihafal para hafizh itu
merupakan duplikat Al-Qur’an yang dihafal Rasul. Di samping jaminan dengan
penghafalan tersebut, setiap tahun
Malaikat Jibril datang menderaskan ayat-ayat yang sudah turun kepada Nabi, dan
pada tahun terakhir Malaikat Jibril datang dua kali. Sebagimana disebutkan di
atas Nabi bukan sekedar mendiktikan para sahabat, setelah itu sahabat pada
menulisnya, tetapi sekalisgus memberikan petunjuk letak ayat itu di mana,
sesuadah ayat mana, pada surat mana, atau dengan kata lain Nabi sudah
memberikan petunjuk tentang tertib al-ayah wa as-suwar.[6]
1.2
Pengumpulan al-Qur’an Zaman
Kekhilafahan Abu Bakar
Pasca wafatnya Rasulullah saw.
para sahabat ra. belum merasa perlu agar al-Qur’an
dikumpulkan dalam satu kitab, hingga terbunuhnya sejumlah penghafal
al-Qur’an dalam Perang Riddah pada tahun 10 H/632 M dan Perang
Yamamah pada tahun 11 H/633 M. Dalam peperangan
tersebut, sejumlah penghafal dan qurrâ’ telah terbunuh, ada yang mengatakan 70 orang, dan ada yang mengatakan
500 orang. Kondisi ini sempat mencemaskan ‘Umar bin Khattab,
yang dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya sebagian suhuf.
Oleh
sebab itulah Umar bin Khatab mengusulkan kepada Abu Bakar sebagai Khalifah,
untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Semula Abu Bakar keberatan
karena khawatir termasuk perbuatan bid’ah, sebab Rasul SAW tidak pernah
memerintahkan seperti itu. Tetapi dengan berdialog bersama Abu Bakar, Umar
berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa usaha pengumpulan Al-Qur’an seperti yang
diusulkannya itu hanyalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rasulullah
SAW sendiri, karena beliau telah memerintahkan kepada para penulis wahyu
menuliskan semua ayat yang turun. Kata Umar, kita hanya mengumpulkan kembali
tulisan-tulisan yang berserakan itu, untuk kemudian membendelnya jadi satu
sehingga terpelihara keutuhan dan keasliannya.
Setelah Abu Bakar sepakat dengan usul Umar ibn Khattab,
kemudian Abu Bakar memilih orang yang paling tepat untuk melaksanakan tugas
suci tersebut adalah Zaid ibn Tsabit, dan Umar juga menyetujui pilihan Abu
Bakar
Dalam melaksanakan tugas, Zaid mengikuti metode yang
digariskan oleh Abu Bakar dan Umar, yaitu mengumpulkan Al-Qur’an dengan tingkat
akurasi yang tinggi dan hatihati. Sumbernya tidak cukup hanya hafalan dan
catatan yang dibuat oleh Zaid sendiri, tetapi harus bersumber dari dua sumber sekaligus
, pertama: Catatan-catatan yang pernah yang dibuat di zaman Rasul, kedua:
hafalan para sahabat dan setiap sumber harus dikuatkan oleh dua orang saksi
yang dipercaya.[7]
Keterangan ini menjelaskan metode Zayd bin Tsabit dalam
mengumpulkan al-Qur’an, bahwa
pengumpulan tersebut berpijak pada dua hal :
1. hafalan yang tersimpan dalam dada para sahabat;
2. materi yang tertulis di depan Rasul, dan materi
tersebut tidak diterima, kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil.
Setelah
Zaid ibn Tsabit dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, tersusunlah sebuah mushaf
yang dikumpulkan
dengan
tingkat akurasi yang tinggi dari sumber yang mutawatir dan diterima secara ijma’ oleh
umat Islam waktu
itu.
Ayat-ayat yang sudah di-nasakh tidak lagi dituliskan. Ayat-ayat yang
sudah disusun sesuai dengan urutannya berdasarkan petunjuk Rasul SAW.
Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Qur’an
dalam satu mushaf dengan cara yang sangat teliti, walaupun selain itu ada juga
mushaf-mushaf pribadi pribadi pada sebagian sahabat, seperti Mushaf Ali, Mushaf
Ubai dan Mushaf Ibn Mas’ud. Setelah Abu Bakar wafat, mushaf tersebut diserahkan
kepad Hafsah untuk menyimpannya, Hafsah adalah seorang istri Rasulullah saw dan
anak Umar ibn Khatab Khalifah kedua setelah Abu Bakar.[8]
1.3 Pengumpulan
al-Qur’an Zaman Kekhilafahan Utsman bin Affan
Penyebaran Islam bertambah
luas dan para qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap
wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka.
Cara-cara pembacaan Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dnegan
perbedaan “huruf” yang dengannya Qur’an diturunkan. Apabila mereka berkumpul
disuatu pertemuan atau dimedan perang, sebagian merka merasa heran akan adanya
perbedaan qira’at ini. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan
menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah,
sehingga terjadilah pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang
lebih baku dan pada gilirannya akan menimbulkan saling pertentangan bila terus
tersiar, bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa.[9]
Perbedaan pendapat yang terjadi tentang qiraah antara umat
Islam dari Irak dengan umat Islam dari Syam waktu perang Armenia dilaporkan
oleh Hudzaifah ibn al-Yaman kepada Khalifah Utsman. Kalau tidak segera diatasi,
dikhawatirkan pada masa yang akan datang akan menimbulkan fitnah dan malapetaka
besar bagi umat Islam.[10]
Ternyata memang Utsman khawatir, kehawatiran ‘Utsman dapat dibaca jelas dalam
pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat, apalagi
orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih
berbeda lagi”. (HR Abu Daud).[11]
Utsman segera mengambil langkah antisipatif dengan membentuk
sebuah tim penulisan kembali Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan acuan
utama mushaf Abu Bakar. Utsman meminjam mushaf yang disimpan Hafsah,
selanjutnya menyerahkannya kepad Tim yang terdiri dari empat orang sahabat
terbaik dan terpercaya untuk melaksanakan tugas suci tersebut. Ketua tim Zaid
ibn Tsabit, anggota Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Ash dan Abdurrahman ibn
Harits ibn Hisyam. Tiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan Zaid
yang dari Madinah. Komposisi tiga orang dari Quraisy itu diperlukan dalam
memenangkan logat atau dialek Quraisy apabila terjadi perbedaan pendapat antara
anggota tim dengan Zaid. Utsman memang memberi petunjuk seperti itu, apabila
terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka tulislah dengan logat Quraisy,
karena Al-Qur’an diturunkan dalam logat mereka dan tim tetap bekerja di bawah
arahan Utsman. Sistem penulisan inilah kemudian dikenal dengan sebutan ar-Rasmul-Usmani.
Dengan usahanya tersebut Utsman ibn Affan telah berhasil
menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga
Al-Qur’an dari penambahan dan penyimpangan. Kemudian Utsman memerintahkan agar
semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsman dimusnahkan.[12]
D. Analisa
Menurut
Kelompok kami, dengan adanya pembukuan atau pemushafan al quran oleh para
sahabat itu menyelamatkan kitab suci
Al-Quran yang pada saat itu hampir lenyap karena banyak dari para hafizh Qur’an
yang meninggal saat terjadinya perang Yamamah dan sampai masalah meredakan
konflik yang terjadi pada bangsa Arab tentang
dialek bacaan Al-Qu’an pada masa Ustman bin Affan. Oleh karena itu,
pembukuan kitab Al-Quran sangat berpengaruh besar terhadap masa sekarang,
karena Al-Quran masih terjaga keontentikannya dan masih murni hingga saat ini.
E. Simpulan
Al-Qur'an
petunjuk hidup yang bersifat holistik, komprehensif, luas dan mendalam
berfungsi mendasari dan menuntun berbagai dimensi kehidupan manusia menuju
keridhaan Allah SWT.
Pengumpulan
Qur’an pada zaman Nabi, Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan
ditempatkan dalam hati, Nabi Muhammad SAW. juga memerintahkan sahabatnya,untuk
menyalinnya (Qur’an) atau mengabadikan dalam media yang pada waktu itu masih
menggunakan bahan-bahan ”seadanya” seperti kulit hewan, tulang, dan pelepah
kurmah.
Setelah
wafatnya Nabi, sejumlah
penghafal al-Qur’an dalam Perang 70 orang terbunuh. Oleh
sebab itul Umar bin Khatab mengusulkan kepada Abu Bakar sebagai Khalifah, untuk
mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Kemudian Abu Bakar memilih Zaid ibn
Tsabit untuk melaksanakan tugas suci tersebut. Zaid mengumpulkan Al-Qur’an
dengan tingkat akurasi yang tinggi. Setelah Abu Bakar wafat, mushaf tersebut
diserahkan kepad Hafsah untuk menyimpannya.
Cara-cara pembacaan Qur’an yang mereka bawakan
berbeda-beda sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Qur’an diturunkan.
Utsman segera mengambil langkah antisipatif untuk menghindarkan
timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Al-Qur’an dengan
membentuk sebuah tim penulisan kembali Al-Qur’an kedalam beberapa mushaf dengan
acuan utama mushaf Abu Bakar.Selanjutnya, Usman menyerahkannya kepada Tim yang
diketuai Zaid ibn Tsabit. Kemudian Utsman memerintahkan agar semua mushaf yang
berbeda dengan mushaf Utsman dimusnahkan.
Daftar Pustaka
Alifuddin, Muhammad. Sejarah
dan Pengantar Ulumul Al-Qur’an. Kendari: Penerbit Yayasan Sipakarannu
Nusantara, 2009
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an, Cet. I. Yogyakarta:Forum Kajian dan Budaya Agama,
2001
Ansyori , Anhar. Pengantar
Ulumul Qur’an . Yogyakarta:Lembaga Pengembangan Studi Islam, 2012
AS ,
Mudzakir. Studi Ilmu-Ilmu Qur'an Cet.16. Bogor: Pustaka Lintera AntarNusa,
2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia
– Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), diakses pada 12/02/2018 pukul 09.32
terimakasih sangat bermanfaat
BalasHapus