Makalah Tarikh Tasry : Sejarah Perkembangan Hukum Islam pada Masa Penjajahan
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak awal kehadiran islam pada abad
ke-tujuh Masehi tata hukum Islam sudah dipraktekkan dan dikembangkan dalam lingkungan
masyarakat dan peradilan Islam. Hamka mengajukan fakta berbgai karya ahli Hukum
Islam Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil
al-Muhtadim, Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya
tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih. Masih bersifat doktrin hukum
dan sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mahzab.
Baru pada tahun
1760 VOC memerintahkan D.W.Freijer untuk menyusun hukum yang kemudian dikenal
dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan rujukan hukum dalam
menyelesaiakan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah
yang dikuasai VOC.
Kitab-kitab hukum
tersebut merupakan hukum positif yang berlaku pada masa itu. Khusus di bidang
peradilan, pada sekitar abad ke 16 telah ditemukan pengadilan agama (Islam)
hampir di seluruh daerah setingkat kabupaten di pulau Jawa. Pengadilan agama
tersebut menjadi satu-satunya lembaga peradilan yang melayani kebutuhan rakyat
Jawa. Sedang kan di luar Jwa pada masa pangeran Dipati Anta Koesoema di Kuala
Kapuas sekitar tahun 1638, juga sedah terdapat pengadilan agama yang menerapkan
hukum Islam dalam proses peradilannya.
Kalau kita
perhatikan, di dalam produk-produk hukum pemerintahan kolonial selalu memberi
peluang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Meskipun hal itu sebagai
politik hukum kolonial yang kompromis, namun memang demikianlah kanyataan bahwa
hukum Islam memang benar-benar berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
Van Den Berg berpendapat bahwa hukum Islam berlaku secara total di Indonesia,
karena seluruh unsur-unsurnya sudah menjadi bagian dari kehidupan hukum
masyarakat di nusantara ini. Pendapat ini terkenal dengan teori Receptio in
Complexu. Induk dari produk-produk hukum itu yakni pasal 175 ayat (3) RR (Regerings
Reglement) Staatsbland 1855 : 2 bahwa hakim di Indonesia hendaknya
memberlakukan gods diens ivetten (undang-undang agama) dan kebiasaan
penduduk.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tarikh Tasry` Islam Pada Masa Penjajahan
Dalam membicarakan
Hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional pusat perhatian akan ditujukan pada
kedudukan Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional. Sistem Hukum Indonesia,
sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat majemuk. Disebut demikian
karena sampai sekarang di negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem
hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri. Sistem hukum itu adalah sistem
hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat.
Sejak awal
kehadiran Islam pada abad ke-tujuh Masehi tata hukum Islam sudah dipraktekkan
dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam. Hamka
mengajukan fakta berbagai karya ahli
Hukum Islam Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil
al-Muhtadim, Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya
tulis tersebut masih bercorak pembahasan fiqih. Masih bersifat doktrin hukum
dan sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mahzab.
Pada era kekuasaan
kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam peradilan agama sudah hadir secara
formal. Ada yang bernama peradilan penghulu seperti di Jawa. Mahkamah Syar`iyah
di Kesultanan Islam di Sumatera. Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan
Pontianak. Namun sayang disayangkan, walaupun pada masa Kesultanan telah berdiri
secara formal peradialan Agama serta status ulama memegang peranan sebagai
penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang
sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang ditarik dari kandungan
doktri fiqih.
Baru pada tahun
1760 VOC memerintahkan D.W.Freijer untuk menyusun hukum yang kemudian dikenal
dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan rujukan hukum dalam
menyelesaiakan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat Islam di daerah
yang dikuasai VOC.
Kitab-kitab hukum
tersebut merupakan hukum positif yang berlaku pada masa itu. Khusus di bidang
peradilan, pada sekitar abad ke 16 telah ditemukan pengadilan agama (Islam)
hampir di seluruh daerah setingkat kabupaten di pulau Jawa. Pengadilan agama tersebut
menjadi satu-satunya lembaga peradilan yang melayani kebutuhan rakyat Jawa.
Sedangkan di luar Jawa pada masa
pangeran Dipati Anta Koesoema di Kuala Kapuas sekitar tahun 1638, juga sedah
terdapat pengadilan agama yang menerapkan hukum Islam dalam proses
peradilannya.
Kalau kita
perhatikan, di dalam produk-produk hukum pemerintahan kolonial selalu memberi
peluang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Meskipun hal itu sebagai
politik hukum kolonial yang kompromis, namun memang demikianlah kanyataan bahwa
hukum Islam memang benar-benar berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu,
Van Den Berg berpendapat bahwa hukum Islam berlaku secara total di Indonesia,
karena seluruh unsur-unsurnya sudah menjadi bagian dari kehidupan hukum
masyarakat di nusantara ini. Pendapat ini terkenal dengan teori Receptio in
Complexu. Induk dari produk-produk hukum itu yakni pasal 175 ayat (3) RR (Regerings
Reglement) Staatsbland 1855 : 2 bahwa hakim di Indonesia hendaknya
memberlakukan gods diens ivetten (undang-undang agama) dan kebiasaan
penduduk.
Dalam ayat (4)
dinyatakan bahwa hukum agama itu juga harus dipakai oleh para hakim Belanda,
jika perkara yang bersangkutan dibawa ke tingkat banding (hoger beroep). Di
dalam perkembangannya, peraturan-peraturan tersebut dilakukan perubahan secara
berangsur-angsur oleh pemerintah kolonial untuk mengurangi berlakunya hukum
Islam di Indonesia. Puncak perubahan yakni dengan keluarnya pasal 134 ayat (2)
IS (Indische Staats Regeling) yang dinyatakan bahwa dalam hal terjadi
perkara perdata antara sesama orang Islam, apabila keadaan tersebut telah
diterima oleh hukumadat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi.
Ketentuan terakhir
ini jelas menempatkan hukum Islam di bawah hukum adat, karena hukum Islam baru
dapat berlaku apabila telah diterima oleh hukum adat. Bersamaan dengan
ketentuan pasal 134 ayat 2 IS ini, telah muncul Theorie “Receptie” oleh Snouck
Hurgronje yang isinya sama dengan isi peraturan tersebut. Theorie Receptie inilah
yang sampai sekarang dirasakan besar pengaruhnya terhadap pola pikir Sarjana
Hukum di Indonesia, yang tentunya sebagian besar beragama Islam.[1]
B.
Islam pada Zaman Kolonial (Belanda dan Jepang)
Hukum Islam di Indonesia memiliki
sejarah panjang, seiring dengan masuk, tumbuh dan berkembangnya di Indonesia.
Tanpa memasuki wilayah kntroversi apakah Islam masuk di Indonesia pada abad VII
menurut sumber ke-Islaman, atau abad XII dalam versi Barat, Hukum Islam
memiliki periodesasi yang setidak-tidaknya dapat dikategorikan sebagai berikut
(Ahmad Rofiq. 2001:3)
1) Hukum Islam diterima secara menyeluruh
oleh umat Islam. Kenyataan ini dipahami dan diakui oleh pejabat Belanda,
seperti Cornelis van den Berg. Dari sini kemudian dimunculkan teori receptio in complexu. Hal ini dapat
terlihat dalam Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa sengketa warisan
antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
2) Hukum Islam diberlakukan apabila ia
telah diterima oleh hukum Adat. Karena hukum yang berlaku bagi masyarakat Islam
adalah hukum Adat. Jadi, Hukum Adatlah yang menentukan berlakunya Hukum Islam.
Kenyataan ini kemudian diteorikan dengan teori receptie oleh van Vollenhoven (1874-1933) dan Snouck Hurgronje
(1874-1936). Teori receptie inilah
yang oleh Hazairin kemudia disebut sebagai teori iblis.
3) Hukum Adat juga berlaku apabila
diresepsi oleh Hukum Islam. Jadi, yang menentukan berlaku atau tidaknya Hukum
Adat adalah Hukum Islam. Dengan kata lain Hukum Adat dapat berlaku apabila
tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Teori ini oleh Sajuti Thalib dengan
teori receptio a contrario atau teori receptio exit.
Pada
akhir abad keenam belas atau tepatnya tahun 1596 organisasi perusahaan dagang
belanda (VOC) merapatatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Maksudnya
semua untuk berdagang, namun kemudian haluannya berubab untuk menguasai
kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanada
memberi kekuasaan kepada VOC untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan
perjanjian dengan raja-raja Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC
mempunyai dua funsi, pertama sebagai pedangan dan kedua sebagai badan
pemerintahan.[2]
Untuk
memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu VOC mempergunakan Hukum Belanda yang
dibawanya. Untuk itu di daerah-daerah yang dikuasainya kemudian, VOC membentuk badan-badan
peradilan untuk bangsa Indonesia. Namun, oleh karena susunan badan peradilan
yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam pratik, maka
VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus
seperti keadaan yang sebelumnya. Demikianlah misalnya, karena kota Jakarta dan
sekitarnya hukum Belanda yang dinyatakan berlaku untuk semua bangsa itu tidak
dapat dilaksanakan, pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang
hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dala Statuta
Jakarta 1642 disebutkan bahwa mengenai kewarisan orang Indonesia yang beragama
Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat
sehari-hari.
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat ke dalam
dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan
ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi
Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum Adat (Ratno
Lukito,1998:28)
Pada
waktu VOC diberi kekuasaan oleh pemerintah Belanda untuk mendirikan
benteng-benteng dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan raja-raja kepulauan
Indonesia, VOC membentuk badan-badan peradilan khusus pribumi di daerah
kekuasaannya. Dalam Statuta Batavia tahun 1642 disebutkan, bahwa mengenai soal
kewarisan orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam.
Sehubungan dengan hal ini VOC meminta D.W Freijer menyusun suatu compendium yang berisi hukum perkawinan
dan kewarisan Islam. Compendium tersebut kemudian dipergunakan dalam
menyelesaikan sengketa yang terjadi antar umat Islam di daerah-daerah yang
dikuasi oleh VOC. Kitab hukum tersebut terkenal dengan nama Compendium Freijer.
Di
samping Compendium Freijer banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC,
diantaranya ialah kitab hukum Mogharraer (Moharrar) untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum
ini adalah kitab perihal hukum-hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari
kitab hukum Islam Moharrar, yang didalamnya merupakan kumpulan hukum Tuhan,
hukum alam, hukum anak negeri yang dipergunakan oleh Landraad (Pengadilan
Negeri) Semarang dalam memutuskan perkara perdata dan pidana yang terjadi di
kalangan rakyat setempat. Moharrar memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Selain itu ada juga kitab hukum lain yang
dibuat pada zaman VOC yakni Papakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum Jawa
kuno yang diterbitkan kembali oleh Dr. Hazeau pada tahun 1905, dan peraturan
yang dibuat untuk daerah Bone dan Goa di Sulawesi Selatan atas prakarsa B.J.D
Clootwijk.[3]
Organisasi
VOC karena mengalami kebangkrutan, maka pada tanggal 31 Desember 1799
dibubarkan. Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka
seperti yang terlihat nanti sikap Belanda berubah-ubah terhadap hukum Islam,
kendati perubahan itu terjadi perlahan-lahan. Setidaknya perubahan sikap
Belanda itu dapat terlihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai
wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan
pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan proyek Kristenasi.
Ketiga, keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik
hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan
mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Di
zaman Daendels (1800-1811) upaya pemerintahan untuk mengubah hukum Islam belum
dimulai. Di masa itu secara umum hukum Islam dianggap sebagai hukum asli orang
pribumi. Karena pendapat yang demikian, Daendels mengeluarkan peraturan yang
menyatakan bahwa perihal hukum agama orang Jawa tidak boleh diganggu gugat dan
hak-hak penhulu mereka untuk memutus beberapa macam perkara tenteng perkawinan
dan pewarisan harus diakui oleh alat kekuasaan pemerintah Belanda. Di samping itu ia menegaskan, kedudukan para
penghulu sebagai tenaga ahli hukum Islam yaitu hukum asli orang Jawa dalam
susunan badan peradilan yang dibentuknya, sebagai penasihat dalam suatu masalah
atau perkara.
Waktu
Inggris menguasai Indonesia (1811-1816) keadaan tidak berubah. Thomas S.
Raffles yang menjadi Gubernur Jendral Inggris untuk kepulauan Indonesia pada
waktu itu menyatakan bahwa hukum yang berlaku di kalangan rakyat adalah hukum
Islam. Ia menyatakan The Koran.. forms the general law of Java.
Setelah
Indonesia oleh Inggris kepada Belanda berdasarkan konvensi yang ditanda-tangani
di London pada tanggal 13 Agustus 1814, Pemerintah Kolonial Belanda membuat
suatu undang-undang tentang kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan,
pertanian dan perdagangan dalam daerah jajahannya di Asia. Undang-undang ini
mengakibatkan perubahan hampir disemua bidang kehidupan orang Indonesia,
termasuk bidang hukum, yang akan merugikan perkembangan hukum Islam
selanjutnya.
Menurut
H.J Benda, pada abad ke-19 banyak orang Belanda baik di negerinya sendiri maupun
di Hindia Belanda, sangat berharap segera dapat menghilangkan pengaruh Islam
dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, diantaranya melalui
proses Kristenasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas
agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan
bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam
Indonesia dikristenkan, jika dibandingkan dengan mereka yang berada di
negara-negara muslim lainnya. Banyak orang Belanda yang berpendapat bahwa
pertukaran agama penduduk Kristen akan menguntungkan negeri Belanda karena
penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama mereka dengan agama
pemerintahannya, setelah mereka masuk Kristen akan menjadi warga negara yang
loyal lahir dan batin. Penadapt ini didukung oleh teori yang berlaku pad awaktu
itu yang menyatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dipeluk seseorang. Kalau
ia beragama Kristen, hukum Kristenlah yang berlaku baginya.
Terkait
mengenai keberlakuan hukum Islam dikalangan masyarakat Indonesia ini muncul
berbagai teori, dimana satu dengan yang lain sering kali bertolak belakang.
Adapun mengenai hal ini paling tidak terdapat tiga macam teori, yaitu teori
receptio in complexu, teori receptie, dan teori receptie balik (receptie a
contrario).
Melalui
ahli hukumnya Van den Berg lahirlah teori receptioo in complexu yang
menyakatan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi
pemeluk-pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka Pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan Agama yang ditujukan kepada
warga masyarakat yang memeluk agama Islam.
Daerah
jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan
administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya
ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh
menyelesaikan perkara pidana maupun perdata
yang terjadi.[4]
Kemudian
teori receptio in complexu ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan
bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum
Islam harus diresepsi (diterima)
terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori tersebut
seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan, karena belum diterima
atau bertentangan dengan hukum adat.
Teori
receptie ini berpangkal dari keinginan Snouck Hurgronje agar orang-orang
pribumi rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang ajaran Islam, sebab pada
umumnya orang-orang yang kuat memegang ajaran agama Islam dan hukum adat tidak
mudah dipengaruhi oleh peradaban barat. Atas dasar itulah ia memberikan nasihat
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mengurus Islam di Indonesia dengan
berusaha menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan
pemerintah Hindia Belanda dengan menempuh kebijaksanaan sebagai berikut.
1. Dalam kegiatan agama Islam arti yang
sebenarnya (agama dalam arti sempit), Pemerintah Hindia Belanda hendaknya
memberikan kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi
orang-orang Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya.
2. Dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah
Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang
berlaku dengan membuka jalan yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan
kepada suatu kemajuan dengan memberikan bantuan kepada mereka.
3. Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan
yang dapat membawa atau menghubungkan kearah gerakan Pan Islamisme yang
mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi
Pemerintah Hindia Belanda.
Eksistensi
teori receptie ini kemudian dikokohkan melalui Pasal 134 I.S yang
menyatakan bahwa bagi orang pribumi kalau mereka menghendaki, diberlakukan
hukum Islam, selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat. Akibat
dari adanya teori receptie ini ternyata dapat mengeliminir kewenangan
pengadilan agama, sehingga perkara waris misalnya kemudian menjadi kewenangan
pengadilan umum. Secara yuridis teori receptie kemudian memasuki
legislasi Belanda yang dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 131 IS dan 163 IS
yang intinya membeda-bedakan hukum yang berlaku bagi tiga golongan yang ada di
masyarakat yang khusus untuk pribumi berlakulah hukum adat.
Pengaruh teori receptie ini
dapat kita jumpai dalam Staatsblaad 1835 Nomor 58 yaitu bahwa :
“apabila
terjadi sengketa antara orang Jawa satu sama yang lain mengenai soal-soal
perkawinan, pembagian harta, dan sengketa-sengketa yang sejenis, yang harus
diputus menurut Hukum Islam, maka para pemuka agama memberikan keputusan akan
tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pemuka
agama itu, harus dimajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”
Selain
dari itu untuk mengekalkan kekuasaanya di Indonesia, pada bagian kedua
pertengahan abad yang lalu, pemerintah kolonial Belanda mulai melaksanakan apa
yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Yang dimaksud
dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia adalah politik hukum yang
secara sadar hendak menata, mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan
hukum Belanda. Politik ini di dorong oleh keinginan untuk melaksankan di
Indonesia kodifikasi hukum yang terjadi di negeri Belanda pada tahun 1838
berdasarkan anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah
ada di Indonesia.
Mengenai
kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda itu,
Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi ketua komisi tersebut menulis sebuah
nota kepada pemerintah Belanda, yang berbunyi antara lain, “ untuk mencegah
timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan, jika
diadakan pelanggaranterhadap hukum orang bumi putra dan agama Islam, maka harus
diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tetap tinggal dalam
lingkungan hukum agama serta adat-istiadat mereka.
Mungkin
pendapat Scholten inilah yang menyebabkan Pasal 75 RR Regerings Reglement
(Peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda menjalankan kekuasaannya
di Indonesia : 1855) mengintruksikan kepada pengadian untuk mempergunakan “
Undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan mereka, kalau golongan bumi
putera yang bersengketa, sejauh undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan itu tidak bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan
keadilan yang diakui umum”. Asas-asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum
itu adalah asas-asas kepatutan dan keadilan hakim-hakim Belanda yang menguasai
pengadilan pada masa itu. Selain itu, mungkin
pendapat Scholten van Oud Haarlem ini pulalah yang mendorong pemerintah
Hidia Belanda untuk mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura kemudian
(18882). Karena di dalam Pasal 78 ayat (2) RR itu ditegaskan bahwa dalam hal
terjadi perkara perdata antar sesama orang bumi putera atau dengan mereka yang
disamakan dengan bumi putera, maka mereka itu tunduk pada putusan hakim agama
atau kepala masyarakat mereka yang menyelesaikan perkara itu menurut
undang-undnag agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.
Sejalan
dengan maksud tersebut, pada tahun 1882 Pemerintah Kolonial Belanda membentuk
sebuah komisi untuk meninjau kembali Priesternad.
Komisi ini menampung beberapa saran dari Snouck Hurgronje, yang antara lain
megusulkan adanya penggantian nama Priesterrad menjadi “Penghoeloegerecht” ,
pemberian gaji secara tetap kepada pegawai administrasi peradilan, dibentuknya
Mahkamah Islam Negeri sebagai pengadilan banding bagi seluruh Pengadilan Agama
di Jawa dan Madura. Sebagai mbalan komisi mengusulkan pencabutan wewenang
Pengadilan Agama untuk mengadili perselisihan harta benda, dan menyerahkannya
kepada Pengadilan Negeri. Laporan komisi ini akhirnya menjadi dasar ordonantie tahun 1931 tanggal 31 Januari
1931, Stb. 1931-152, yang mulai berlaku baru pada tahun 1937,yang kemudian
mengalami perubahan melalui Stb. 1937-116.
Upaya
sistemik yang kemudian ditempuh oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai
realisasi teori receptie ini ialah dengan berusaha melumpuhkan dan menghambat
pelaksanaan Hukum Islam dengan cara.
1. Sama sekali tidak memasukkan masalah hudud dan qishash dala bidang Hukum Pidana. Mengenai Hukum Pidana ini telah
diunifikasi dengan Wetboek van Scrafrecht
yang mulai berlaku sejak Januari 1919.
2. Di bidang tata negara, ajaran Islam yang
mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali. Segala bentuk kajian yang
berhubungan dengan politik ketatanegaraan (siyasah) dilarang keras.
3. Mempersempit berlakunya hukum muamalah
yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Bahkan khusus untuk hukum
kewarisan islam diupayakan tidak berlaku, yang ditandai oleh adanya upaya dari
Pemerintah Hindia Belanda untuk menanggalkan wewenang Peradilan Agama di bidang
kewarisan pada Pengadilan Agama di Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan,
kemudian kewenangan di bidang kewarisan ini diserahkan kepada Landraad. Di
samping itu juga terdapat larangan penyelesaian dengan hukum Islam jika di
tempat terjadinya perkara tidak diketahui bagaimana bunyi hukum adatnya.[5]
C. Hukum Islam pada Masa Penjajahan
Jepang
Dalam
konteks administrasi penyelenggaraan negara dan kebijakan-kebijakan terhadap
pelaksanaan hukum Islam di Indonesia terkesan bahwa Jepang memilih untuk tidak
terlalu mengubah beberapa hukum dan peraturan yang ada. Sebagaimana Belanda
pada masa-masa awal penjajahannya, rezim Jepang juga mempertahankan bahwa
adat-istiadat lokal, praktik-praktik kebiasaan, dan agama tidak boleh
diintervensi untuk sementara waktu, dan dalam hal yang berhubungan dengan
penduduk sipil, adat dan hukum sosial mereka harus dihormati dan pengaturan
yang khusus diberlakukan adanya dalam rangka untuk mencegah munculnya segala
bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Perubahan
yang sangat terasa pengaruhnya adalah berkenaan dengan Peradilan. Jepang
membuat kebijakan untuk melahirkan peradilan-peradilan sekuler seperti Districtsgerecht (Gun Hoin),
Regentschapsgerecht (Ken Hooin), Landgerecht (Keizai Hooin), Landraat (Tihoo
Hooin), Raad van Justitie (Kototo Hoin) dan Hoogerechtshop (Saiko Hooin) diunifikasikan menjadi satu lembaga
peradilan yang melayani semua golongan masyarakat, sementara Residentiegerecht
yang khusus untuk orang-orang Eropa dihapuskan.
Dampak dari unifikasi peradilan ini
menjadikan peran tetua adat di Sumatera Utara dan kelompok uleebelang mengalami
pergeseran. Otoritas mereka pada peradilan adat dihilangkan walaupun otoritas
administratif tetap dipertahankan. Dengan demikian perubahan terlihat pada
struktur kelembagaan peradilan agama Islam.[6]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejak awal kehadiran islam pada abad ke-tujuh Masehi tata hukum
Islam sudah dipraktekkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan
peradilan Islam. Hamka mengajukan fakta berbgai karya ahli Hukum Islam
Indonesia. Misalnya Shirat al-Thullab, Shirat al-Mustaqim, Sabil al-Muhtadim,
Kartagama, Syainat al-Hukm, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya tulis
tersebut masih bercorak pembahasan fiqih. Masih bersifat doktrin hukum dan
sistem fiqih Indonesia yang berorientasi kepada ajaran Imam Mahzab.
Hukum Islam di
Indonesia memiliki sejarah panjang, seiring dengan masuk, tumbuh dan
berkembangnya di Indonesia. Tanpa memasuki wilayah kontroversi
apakah Islam masuk di Indonesia pada abad VII menurut sumber ke-Islaman, atau
abad XII dalam versi Barat.
Kemudian
teori receptio in complexu ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck
Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori receptie yang menyatakan
bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
adat. Atas dasar itulah ia memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda
untuk mengurus Islam di Indonesia dengan berusaha menarik rakyat pribumi agar
lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda dengan
menempuh kebijaksanaan sebagai berikut.
1. Dalam kegiatan agama Islam arti yang sebenarnya
(agama dalam arti sempit), Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan
kebebasan secara jujur dan secara penuh tanpa syarat bagi orang-orang Islam
untuk melaksanakan ajaran agamanya.
2. Dalam bidang kemasyarakatan, Pemerintah
Hindia Belanda hendaknya menghormati adat-istiadat dan kebiasaan rakyat yang
berlaku dengan membuka jalan yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat jajahan
kepada suatu kemajuan dengan memberikan bantuan kepada mereka.
3. Di bidang ketatanegaraan mencegah tujuan
yang dapat membawa atau menghubungkan kearah gerakan Pan Islamisme yang
mempunyai tujuan untuk mencari kekuatan-kekuatan lain dalam hubungan menghadapi
Pemerintah Hindia Belanda.
B.
Saran
Pemerintahan sangat berpengaruh besar terhadap hukum yang
sedang berlaku di Indonesia. Seperti halnya pada masa penjajahan, dimana hukum
adat dan hukum Islam mudah goyah karena dipengaruhi Belanda dan Jepang yang
mempunyai tujuan untuk menghilangkan sedikit demi sedikit hukum tersebut di
negara kita. Dengan adanya sistem pemerintahan yang bijak sekarang ini, maka
hukum yang berlaku akan bisa ditegakkan. Hukum Islam harus tetap dijalankan dan
tidak dapat dihilangkan karena mayoritas masyarakat Indonesia ialah umat
muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Ghofur, Abdul Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya
di Indonesia,
Jogjakarta: Kreasi Total Media, Januari 2008.
Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2011.
Komentar
Posting Komentar